Pages

Reformasi yang dapat memperbaiki nasib bangsa dan martabat bangsa

Reformasi Birokasi

Reformasi yang dapat memperbaiki nasib bangsa dan martabat bangsa
Sejumlah jajak pendapat mengindikasikan semakin merosotnya popularitas Presiden Yudhoyono. Survei terbaru yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia menunjukan bahwa kepercayaan publik atas kemampuan pemerintah menangani kemiskinan dan pengangguran masing-masing hanya 26% dan 22%, dimana lebih dari 50% responden menyatakan Presiden tidak mampu. Sangatlah menarik untuk mencermati bahwa menurunnya popularitas Presiden dan kepercayaan publik terhadap pemerintah ini kemudian dibaca oleh para politisi dan pengamat sebagai isyarat bagi Presiden Yudhoyono untuk melakukan perombakan kabinet secara radikal.

Adalah fakta bahwa memang sejumlah menteri tidak memiliki kinerja yang baik, namun adalah juga fakta bahwa tuntutan perombakan kabinet tidak terlepas dari skenario politik partai-partai besar. Posisi di kabinet, bagaimanapun juga memiliki arti strategis baik secara materil maupun politis dalam menuju kontestasi politik akbar tahun 2009 nanti. Karenanya selayaknya kita membaca kecendrungan hasil jajak pendapat tersebut dalam konteks yang lebih luas. Salah satu persoalan utama bangsa ini adalah kecendrungan untuk keliru mengidentifikasi hal yang substantif dan terjebak dalam perspektif instan. Budaya untuk memecahkan persoalan secara parsial dan temporer nampaknya menjadi arus besar di tengah masyarakat. Memang harus diakui bahwa rakyat membutuhkan keputusan politik yang tegas dan jelas, namun segala keputusan politik tersebut juga harus menyentuh substansi persoalan dan memberikan dampak jangka panjang. Demokratisasi dan perbaikan nasib bangsa secara menyeluruh akan terancam secara serius jika segala permasalahan keluar dari substansinya dan diatasi secara instan, apalagi jika dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan pragmatis-politis.

Substansi dari hasil jajak pendapat jelas bukanlah tuntutan perombakan kabinet, namun meningkatnya ketidakpercayaan publik atas kemampuan pemerintah dalam menjalankan fungsi utamanya untuk mensejahterakan rakyatnya. Berbagai bencana dan skandal yang terjadi akhir-akhir ini jelas mengindikasikan kelemahan mesin birokrasi dalam merespon kebutuhan masyarakat yang bergerak cepat. Karenanya, merosotnya kepercayaan publik terhadap pemerintah semestinya dimaknai dalam perspektif yang lebih luas, yaitu sebagai peringatan keras bagi para politisi dan birokrat.bahwa proses reformasi di Indonesia ternyata belumlah sepenuhnya mengubah karakter birokrasi kita menjadi pelayan publik yang profesional. Demokratisasi akan kehilangan makna jika tanpa diiringi dengan komitmen para politisi dan pemimpin untuk membenahi birokrasi. Sebagian besar enerji para pemimpin dan politisi lebih banyak dicurahkan untuk isu-isu populis ketimbang agenda- agenda strategis jangka panjang. Padahal tidaklah mungkin agenda-agenda populis yang menyangkut kepentingan rakyat banyak dapat diimplementasikan tanpa disokong instrument birokrasi yang efektif.

I. Arti dan makna Reformasi yang sebenarnya

12 tahun sudah perstiwa 12 Mei ’98 berlalu. Tapi tetap saja kenangan dan kejadian-kejadiannya masih melekat di kepala kita semua. Sebuah peristiwa yang cukup menggoncang keras tanah air kita tercinta. Sebuah peristiwa yang cukup menarik perhatian dunia. Sebuah peristiwa yang akhirnya hanya membuahkan satu kata yang sangat terkenal yaitu “REFORMASI�.
Pada waktu peristiwa Reformasi terjadi, saya (penulis) masih duduk di bangku SLTP kelas 1. Saat itu saya hanya melihat sekilas-sekilas saja pemberitaannya di media Televisi. Yang saya tahu hanyalah mahasiswa dengan menggunakan jaket berseragam sambil membawa bendera dan spanduk dengan meneriakkan beberapa kalimat lantang yang salah satu kalimatnya adalah “Reformasi�.
Sampai akhirnya kerusuhan pun tidak terelakkan lagi. Dimana-mana terjadi penjarahan. Perampasan paksa yang bukan miliknya. Di beberapa bangunan ada yang sengaja diberi coretan dengan tulisan “Milik Pribumi� dengan maksud supaya tidak dijarah, tapi ironisnya tetap saja dijarah. Masyarakat sudah seperti kemasukan setan. Telinganya seakan tersumbat oleh ucapan Malaikat. Apa pun bentuk barangnya mereka jarah. Mulai dari TV, Radio tape, tempat tidur, kompor gas, kepingan Laser Disc, sepatu, sandal, sembako, akuarium, mesin dan alat-alat berat yang mereka tidak tahu fungsinya untuk apa sampai pakaian dalam yang belum tentu cocok atau muat jika mereka kenakan, tapi mereka yakin jika barang hasil jarahan itu masih bisa dijadikan uang. Bangunan-bangunan dihancurkan, mobil-mobil dibakar, penjarahan di sana-sini, pembobolan ATM, penembakan dan penculikan misterius terhadap mahasiswa sampai pelecehan seksual yang dilakukan beberapa oknum yang sangat tidak bermoral.
Kerusuhan 98 benar-benar satu rangkaian peristiwa yang sangat memilukan, sadis, biadab dan tidak berperikemanusiaan. Semoga mereka akhirnya sadar kalau mereka telah sengaja menghancurkan rumahnya sendiri. Rumah yang sudah susah payah dibangun dan dibentuk pondasinya dengan kuat oleh pahlawan-pahlawan untuk satu cita-cita luhur yaitu “Merdeka� telah dihancurkan sekejap saja oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja menggunakan dan menyimpangkan makna dari kata refomasi.
Pada saat itu, saya tidak tahu apa-apa. Apa yang menyebabkan sampai-sampai Ibu Pertiwi seolah dibuat menangispun saya tidak tahu. Saat itu saya hanyalah anak kecil yang sedang beranjak remaja dengan hobi menggambar dan bermusik. Setiap hari sepulang sekolah, saya habiskan waktu luang saya dengan menggambar atau bermain gitar bersama teman-teman sekitar rumah, itu pun kalau memang tidak ada PR (Pekerjaan Rumah) atau tugas lain dari guru di sekolah. Ibu dan Ayah hanya berpesan sesekali kepada saya jika saya terlalu asyik menggambar atau bermain gitar “Nak, laki-laki itu tidak apa-apa jadi anak nakal yang penting kamu jangan jadi anak bodoh. Jadi belajarlah yang baik di sekolah dan cermati setiap hal dan peristiwa yang kamu lewati dalam hidupmu sebagai pelajaran dan pengalaman untukmu di masa depan.

Kini, saya pun sudah mengetahui bagaimana rasanya menjadi mahasiswa. Ternyata benar, mahasiswa itu penuh dengan ambisi dan idealisme yang belum tentu jelas kebenarannya. Yang jelas, saya ini mahasiswa dan saya boleh melakukan apapun yang saya mau selama tidak merusak, merugikan dan mengganggu Negeri Indonesia tercinta ini dan orang lain. Saya ingin bisa menjadi apapun yang saya mau dan melakukan pekerjaan apapun yang saya mau. Beginilah cara saya mengisi lubang-lubang kosong reformasi. Saya ingin jadi penulis, fotografer, pemusik, ilustrator, desainergrafis, politikus, sutradara, konsultan marketing, orang iklan, kameramen, tukang sulap, saudagar dan lain-lain. Karena prinsip saya “Jadi manusia itu harus bisa apa aja. Manusia itu harus bisa jadi apa aja.

12 tahun sudah peristiwa itu berlalu dan saya baru menyadari makna dari sebuah kata reformasi. Semua yang dikatakan Ayah saya benar, saya tidak boleh menghabiskan sisa waktu luang ini dengan hanya menggambar dan bermain gitar. Saya harus bisa menjadi orang yang dibutuhkan negeri ini. Orang yang bisa membangun dan mencetak sejarah yang baik untuk negeri ini. Orang yang tahu benar bagaimana caranya menggunakan arti dan makna reformasi dengan baik dan bermoral. (AF)Diambil dari cacatan harian seorang mahasiswa bernama Budi Afriaz.

II. yang harus kita dalam membangun bangsa dan menuju tujuan nasional

Untuk mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia, kita harus mampu menumbuhkan rasa kebangsaan dan menumbuhkan paham kebangsaan atau nasionalisme yaitu cita – cita atau pemikiran –pemikiran bangsa dengan karakteristik yang berbeda dengan bangsa lain (jati diri). Paham kebangsaan Indonesia ialah Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup, faslafah hidup bangsa, kemudian menjadi dasar negara dan sekaligus ideologi negara. Rasa kebangsaan dan paham kebangsaan melahirkan semangat kebangsaan yaitu semangat untuk mempertahankan eksistensi bangsa dan semangat untuk menjungjung tinggi martabat bangsa.

Bangsa Indonesia sekarang ini sebagian besar terdiri dari generasi muda yang tidak mengalami masa ”perang kemerdekaan”. Rasa kebangsaan generasi muda bisa berbeda disebabkan mereka tidak mengalami kekejaman masa kolonialisme masa lalu. Rasa kebangsaan mereka tumbuh dari faktor pendukung lainnya yang dialami secara langsung dalam berbagai bidang kehidupan.
Tantangan yang kita hadapi dewasa ini adalah mensejajarkan diri dengan bangsa – bangsa yang telah maju. Namun paham kebangsaan Indonesia sebagai jati diri bangsa harus dibela secara gigih, dipertahankan, diperjuangkan dan direalisasikan secara murni dan konsekuen oleh setiap generasi bangsa.


III. dalam mengeluarkan pendapat apakah harus ada batasan batasan yang harus dijaga, supaya tidak mengganggu stabilitas nasianal

Ya, karena setiap manusia pasti mempunyai hak dan kewajiban dalam mengeluarkan pendapat apalagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara semua itu sudah tertera jelas dalam UUd 1945 jadi kita sebagai warga Negara yang baik haruslah mentaati peraturan yang ada.
Seandainya tidak ada batasan maka yang terjadi adalah perpecahan antara warga Negara karena tidak saling menghargai sesama lain ,sedangkan kita hidup berbangsa harus saling menghargai dan tidak boleh ada bangsa yang merasa dirugikan apa lagi merasa di pinggirkan oleh bangsa lain.

IV. Faktor faktor apa yang mendorong gejolak seperti sekarang ini
Faktor Penghambat


Dengan demikian, faktor sosiologis kultural dan struktural merupakan penghambat penting dalam integrasi nasional di masyarakat yang sangat plural seperti Indonesia. Sebenarnya kondisi itu bukannya tidak dipahami oleh para pemimpin Indonesia. Mereka sebenarnya telah memberikan perhatian terhadap upaya menjembatani kesenjangan multidimensi yang terjadi di masyarakat. Di antaranya dengan mengakomodasi aspirasi masing-masing kelompok yang berbeda ini, terutama di daerah yang memiliki potensi mengalami disintegrasi seperti Papua dan Aceh, dengan memberi otonomi khusus.

Sebagian upaya sebenarnya sudah lumayan berhasil. Tetapi kemudian mencuat menjadi gejolak ke permukaan karena faktor kekuatan asing. Di Papua fakta peran Amerika Serikat dalam mendorong ketidakstabilan provinsi itu hampir tak bisa ditutupi, yang secara terbuka melakukan intervensi seperti kunjungan anggota Kongres AS pertengahan Juli ini yang mengungkit masalah Papua. AS jelas memiliki kepentingan agar bisa mengeruk kekayaan Papua. Demikian pula dalam kasus bendera RMS baru-baru ini di Ambon, faktor kekuatan asing atau Belanda banyak disebut terlibat.

Dengan persoalan seperti itu maka lengkap sudah kompleksitas ancaman disintegrasi nasional di Indonesia. Ini bukan berarti kemudian tidak bisa dipecahkan sama sekali. Upaya mengatasinya, menurut Weiner, memerlukan kebijakan yang lebih sistematis untuk mengintegrasikan masyarakat kepada satu negara nasional. Integrasi adalah proses sosiologis yang tidak bisa dilakukan dan ditempuh dalam waktu singkat. Hal ini memerlukan proses pembudayaan dan konsensus sosial politik diantara suku bangsa (etnik) di Indonesia. Kalau kita menggunakan pendekatan konflik sebagaimana diilustrasikan oleh Lewis C Coser dan George Simell, maka kerangka masyarakat yang akan kita dapatkan adalah integrasi yang selalu berada dalam bayang-ba- yang konflik antaretnik berkepanjangan.

Kalau kita mengikuti pandangan penganut fungsional struktural dari Auguste Comte, melalui Durkheim sampai dengan Parsons, maka yang akan menjadi faktor mengintegrasikan masyarakat Indonesia tentulah sebuah nilai umum tentang kesepakatan bersama antarmasyarakat.

Nilai-nilai umum tertentu yang disepakati secara bersama itu tidak hanya disepakati oleh sebagian besar orang (etnik), namun harus dihayati melalui proses sosialisasi, akulturasi, asimilasi, dan enkulturasi. Proses ini pernah dibuktikan oleh kesepakatan bersama dalam Sumpah Pemuda yang menghasilkan nasionalisme dan menyatukan rakyat Indonesia secara sosial dan politik. Mengikuti pemikiran R William Liddle, konsensus nasional yang mengintegrasikan masyarakat yang pluralistik pada hakekatnya mempunyai dua tingkatan sebagai prasyarat bagi tumbuhnya suatu integrasi nasional yang tangguh.

Pertama, sebagian besar anggota suku bangsa bersepakat tentang batas-batas teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik dalam mana mereka sebagai warganya. Kedua, apabila sebagian besar anggota masyarakatnya bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat di atas wilayah negara yang bersangkutan.

V. Kebebasan berbicara yang terjadi akhir akhir ini menurut sudut pandang etika,dan bagai mana mestinya?

Di akhir akhir ini banyak orang yang mengeluarkan pendapat itu asal saja tanpa memikirkan sebab yang akan terjadi , seperti para pejabat Negara yang saling menjatuhkan dan menjelekan fraksi yang lain begitu juga yang terjadi dalam persaingan partai politik yang kian menjamur yang semuanya hanya mementingkan kepentingan golongan daripada mementingkan kepentingan masyarakat banyak.
Mestinya kita harus lah saling menghormati dan menghargai orang lain agar kita juga di hargai orang ,tidak perlu ada yang saling menghancurkan pendapat orang lain sebaiknya kita intropeksi diri sendiri sebelum mengkritik pendapat orang lain. Karena dengan ini kita dapat mewujudkan Indonesia yang maju tanpa ada saling menjatuhkan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar