Bisnis
waralaba sudah tidak asing lagi di Indonesia. Bisnis ini boleh
dibilang booming saat restoran cepat saji yang ada di kawasan
jalan Thamrin, Jakarta pada tahun 1990 itu menjadi ikon bagi
masyarakat kota metropolitan. Resto yang menjadikan tempat “tongkrongan”
atau gaya hidup anak muda kota besar itu kian kemari semakin maju pesat
bahkan gerainya terus bertambah sampai ke kota-kota lain di Indonesia.
Kronologi
UU yang
pertama kali memuat kata Waralaba adalah UU no. 9 tahun 1995 tentang “Usaha
Kecil”. UU ini telah dicabut dan digantikan oleh UU no. 20 tahun 2008 tentang
“Usaha Mikro, Kecil dan Menengah”.
Kemudian UU
no. 5 tahun 1999 tentang “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat” menyebut secara khusus “Perjanjian yang berkaitan dengan Waralaba”.
Perlu dicatat bahwa kedua UU di atas, tidak merumuskan/memuat batasan
pengertian/definisi tentang Waralaba. Baru pada PP no. 16 tahun
1997 tentang “Waralaba”, pengertian/definisi Waralaba dirumuskan, sbb:
“Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan
atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan
persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan
atau penjualan barang dan atau jasa”.
Sebagai
peraturan pelaksana/ atas PP no. 16/1997 diterbitkan SK Menperindag no.
259/MPP/Kep/7/1997 tentang “Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran
Usaha Waralaba”. Kemudian sebagai konsekwensi diberlakukannya UU no. 10 tahun
2004, SK Menperindag no. 259/MPP/Kep/7/1997 di atas dicabut dan diganti oleh
Permendag no. 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang “Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan
Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba”. Patut dicatat bahwa dalam Permendag
no. 12/2006, pengertian/definisi Waralaba berubah, sbb: “Waralaba (Franchise)
adalah perikatan antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba di mana
Penerima Waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan
dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas
usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan
persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba dengan sejumlah kewajiban
menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh Pemberi
Waralaba kepada Penerima Waralaba”.
PP no. 16/1997
kemudian dibatalkan dan digantikan oleh PP no. 42 tahun 2007 tentang
“Waralaba”. Patut dicatat, pengertian/definisi Waralaba pada PP no. 16/1997 dan
pada Permedag no. 12/2006 berubah lagi dengan diterbitkannya PP no. 42/2007,
yaitu sbb: “Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan
atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka
memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat
dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”
Kami menyarankan pengertian/definisi Waralaba yang baku yang dicantumkan dalam RUU Perdagangan (atau pada Penjelasan Pasal 5 b), paling sedikit mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
(1). Hak Kekayaan Intelektual (HKI). (2) Sistem Usaha yang telah terbukti sukses (3) Perjanjian waralaba
Dengan adanya unsur Perjanjian waralaba dalam definisi waralaba, maka dipastikan ada 2 (dua) pihak (atau pelaku usaha) yang terlibat, yaitu Pemberi Waralaba (franchisor) dan Penerima Waralaba (franchisee). Pengertian ini menjelaskan bahwa sebetulnya tidak ada "company owned unit" dalam skim waralaba yang benar.
Sumber :
http://akaramoy.blogspot.com/2012/08/waralaba-dalam-kaitan-dengan-ruu.html
0 komentar:
Posting Komentar